Contributor: Febrianda Pasaribu Msc
Managing Partner
Suasana memprihatinkan dan duka terjadi lagi kepada industri kelautan di Indonesia, dimana telah terjadi musibah kebakaran yang mengakibatkan kematian (fatality), terhadap sebuah kapal penumpang KM Zahro Express tanggal 1 Januari 2017 sekitar pukul 08.40 WIB dalam perjalanannya dari Dermaga Muara Angke, Jakarta Utara ke Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, yang hingga saat ini sekitar 23 korban jiwa dan 17 korban yang baru dapat diidentifikasi.
Menurut Direktur Jendral Perhubungan Bpk. Tonny Budiono, kapal KM Zahro Express adalah kapal yang layak berlayar sebelum mengalami kebakaran di perairan kepulauan seribu. (antaranews.com – 1/1/2017). Beliau juga menyatakan sertifikasi keselamatan kapal penumpang tersebut yang dikeluarkan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Muara Angke adalah layak untuk berlayar. KM Zahro Express juga baru dibuat tahun 2013. Beliau juga menyatakan bahwa kapasitas kapal tersebut adalah berkisar 285 penumpang, dan masih dapat memenuhi jumlah angkutan yang layak.
Penyebab kebakaran yang hingga kini juga masih didalami dan memang ada beberapa asumsi bahwa kebakaran tersebut disebabkan korsleting listrik pada mesin atau engine failure.
Kecelakaan kapal adalah sesuatu yang sangat beresiko dan oleh sebab itu, syarat-syarat kelaikan berlayar memang sangat ketat dan merujuk kepada aturan-aturan internasional, dan diterapkan lebih jauh ditingkat nasional dalam pengawasan Dirjen Kelautan (Seacom) dan Biro Klasifikasi Indonesia (atau setara dengannya). Namun pertanyaannya, kenapa hal ini dapat terjadi padahal diketahui kapal tersebut bukan kapal yang memiliki jarak tempuh jauh (long haul) tapi rute pendek. Apakah pengawasan maintenance/pemeliharaan tidak baik terhadap kapal tersebut ataukah ada human error baik dari awak kapal ataupun dari penumpang.
Sementara penyebab dari kebakaran ini masih belum diketahui secara pasti, kami dari kacamata hukum, mencoba menganalisa beberapa hal sebagai berikut:
Dasar hukum terkait dengan pelayaran khususnya untuk surat persetujuan berlayar (port clearance):
- Undang Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
- Keputusan Menteri Perhubungan No KM.01 Tahun 2010 tentang Surat Persetujuan Berlayar;
- Peraturan Pemerintah No 51 tahun 2002 tentang Perkapalan, Pasal 7;
- Surat Keputusan DIRJENLA No. PY 66/1/2002;
- Surat Kuputusan DIRJENLA No. PY 65/1/1986;
- Safety Of Life At Sea ( SOLAS ) 1974;
- International Load Line Conventional 1996;
- Collision Regulation 1972
- STCW 78/95
- Special Trade Passenger (STP) Ship 1971
- Kelalaian syahbandar Deddy Junaedi karena memberikan ijin berlayar sepertinya kurang tepat disematkan meskipun memang tugas KSOP yang kemudian harus men-check apakah sesuai antara manifest dan jumlah actual penumpang, karena sesuai peraturan kesyahbandaran, tentang pelayaran, disebutkan bahwa Surat Izin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dapat dikeluarkan apabila kelayakan berlayar kapal terpenuhi dan syarat-syarat pendukungnya seperti manifest sudah dilampirkan. Kecuali apabila memang terindikasi bahwa Syahbandar mengetahui hal ini karena sudah menjadi hal yang lazim – biasanya terkait dengan tindak pidana korupsi.
- Dalam penerbitan SPB, pihak syahbandar sebagai pelaksana mempunyai peranan yang penting dan merupakan unsur penunjang dalam kelancaran pelayaran. Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar tersebut akan diterbitkan sesuai dengan permintaan perusahaan pelayaran/agen dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Disini pihak Syahbandar dalam menerbitkan SPB tersebut harus benar–benar memperhatikan telah terpenuhinya persyaratan kelaiklautan dan memeriksa kondisi kapal yang sesungguhnya bila diperlukan. Sebagai lanjutan, berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No KM.01 Tahun 2010 Pasal 3 diketahui bahwa, setelah seluruh berkas permohonan penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (port clearance) kepada syahbandar, maka untuk menyatakan bahwa kapal siap untuk berlayar akan diterbitkan Surat Pernyataan Kesiapan Kapal Berangkat dari nahkoda (Master Sailing Declaration).
- Dalam hal terjadi perbedaan jumlah penumpang pada manifest dan actual penumpang, maka ini merupakan tindakan melawan hukum, dan tidak bisa dibenarkan, meskipun jumlah penumpang actual masih dibawah kapasitas maksimum Kapal tersebut. Hal ini sangat tepat yang dilakukan kepolisian dengan meminta pertanggungjawaban dari Nahkoda dan Pemilik kapal tersebut. Dokumen manifest ini merupakan pelaporan jumlah muatan dan sangat erat hubungannya dengan legalitas muatan dan asuransi apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
- Engine failure yang merupakan indikasi kuat namun diluar dari konteks kelaikan berlayar kapal, dapat dicoba kami analisa sebagai berikut:
- a. Engine tidak memiliki maintenance yang baik – selama ini surat sertifikasi keselamatan hanya diendorse dan diperpanjang tanpa adanya pengecheckan fisik lebih lanjut. – surat sertifikasi ini dikeluarkan oleh dishubla.
- b. Adanya korsleting listrik pada mesin? – suatu kewajiban dalam pelayaran dan transportasi publik, peralatan safety wajib dihadirkan di titik-titik tertentu – berikut juga posisi pelampung yang memang memenuhi jumlah penumpang kapal seperti yang diatur dalam SOLAS (Safety Life At Sea) – IMO (International Maritime Organization). Yang dikhawatirkan peralatan keselamatan ini seperti Alat Pemadam Api, tidak tersedia.
- Peng-abaian peraturan oleh pihak KM Zahro Express – dikarenakan GT kapal KM Zahro Express kami rasa dibawah 150 ton, sehingga pengecekan fisik terabaikan pada saat surat kelayakan dikeluarkan oleh otoritas. Selayaknyalah sikap pemilik dan nahkoda untuk top priority dalam masalah safety. Ada atau tidaknya otoritas yang men-check, harusnya pihak pemilik sangat ketat dan menyiapkan alat-alat keselamatan yang tepat dititik-titik yang memang rawan api, dan sebagainya.
- Adanya indikasi korupsi dan bisa lebih jauh lagi ke penggelapan pajak yang dilakukan pihak nahkoda dan awak kapal dan/atau pemilik kapal, yang melaporkan penumpang dalam manifest lebih sedikit dari actual penumpang. Hal ini dengan ditemukannya beberapa hal yang menarik, seperti yang diberitakan penumpang dapat jumlah tiket kurang dari yang dibayarkan.
Rekomendasi kami untuk menyikapi hal ini adalah sebagai berikut:
- Diperketat mengenai pengeluaran dokumen surat kelayakan kapal, terutama sertifikat keselamatan, dan surat lain yang harus diperpanjang dibawah pengawasan dishubla dan biro klasifikasi; dengan pengecekan fisik namun juga dengan prosedur yang cepat dan tepat (professional).
- Khusus kapal penumpang, meskipun memiliki GT rendah, diberlakukan pengawasan dari KSOP lebih detail. Dalam penanganannya justru dapat dibuat ticketing lebih di sentralisasi oleh pemerintah dan KSOP bekerjasama dengan pemerintah untuk prosedur tersebut.
- Dibuat peraturan pemerintah/daerah seperti transportasi udara mengenai permasalahan keamanan, termasuk kewajiban nahkoda untuk menunjukkan letak alat-alat keamanan dan tindakan-tindakan dalam keadaan darurat sebelum Kapal berlabuh.
Masih banyak rekomendasi kami dan hal-hal yang mestinya dapat dilakukan, namun kami juga tidak dapat mendahului penyidik dalam mengungkap penyebab kejadian yang menyedihkan ini, dan mudah-mudahan ini dapat menjadi pelajaran semua pihak bahwa prinsip “safety first” tidak main-main dan harus diperhatikan dengan benar dan tepat.
Mari kita doakan agar korban yang selamat dan keluarga korban yang meninggal dapat diberikan kekuatan moril dan diberikan ketabahan, dan korban yang meninggal mendapatkan tempat yang baik disisi Allah swt.
Kami dan segenap team AM| Oktarina – counsellor at law, turut berduka cita dan mengharapkan yang terbaik untuk teman-teman yang ditinggalkan dan mudah-mudahan pelayaran di Indonesia semakin maju dan professional.
For further info, please contact f.pasaribu@amoktarina.co or n.pasaribu@amoktarina.co